Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), volume tekstil dan barang tekstil impor yang masuk ke Indonesia pada 2024 mencapai 2,19 juta ton, meningkat hampir 12% dibanding 2023 (year-on-year/yoy).
Kemudian nilai impornya tumbuh sekitar 7% (yoy) menjadi US$8,94 miliar.
Data ini mencakup impor tekstil dan barang tekstil golongan XI, dengan harmonized system code atau kode HS 50 sampai 63.
Golongan XI ini terdiri dari gabungan komoditas sutra, wol, kapas, serat tekstil, filamen, serat stapel, kain tenun, kain rajutan, karpet, pakaian rajutan/aksesorinya, pakaian non-rajutan/aksesorinya, serta berbagai produk tekstil lain termasuk pakaian bekas.
(Baca: Kontribusi Industri Tekstil dan Pakaian terhadap PDB Menurun 2017-2024)
Menurut Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), impor tekstil yang membanjiri pasar domestik memicu banyak industri lokal melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai gulung tikar.
"Pemerintah sudah sangat paham bahwa masalah utama sektor TPT (tekstil dan produk tekstil) adalah banjirnya barang impor murah. Solusinya juga jelas, kendalikan impor legal dan berantas praktik impor ilegal," kata Ketua Umum APSYFI Redma Gita Wirawasta, disiarkan Kontan.co.id (10/3/2025).
Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) menyatakan, dampak impor ini tak hanya dirasakan perusahaan tekstil skala besar, tapi juga industri kecil dan menengah (IKM).
"Yang terungkap ke publik baru pabrik-pabrik besar seperti Sritex. Padahal, di sektor IKM, jumlah yang tutup hampir mencapai 1.000 unit, dengan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan," kata Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman.
(Baca: Dinyatakan Pailit, Sritex Defisiensi Modal sejak 2021)