Perusahaan Listrik Negara (PLN) dikabarkan mengalami oversupply, di mana jumlah pasokan listriknya melebihi jumlah yang terjual ke konsumen.
Menurut Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah, kelebihan pasokan ini akan berlanjut sampai tahun depan dan berpengaruh pada naiknya beban negara.
"Kalau nanti EBT masuk maka tahun 2030 PLN itu ada 41 giga oversupply. Bisa dibayangkan kalau 1 giga itu, karena kontrak take or pay, maka harus bayar Rp3 triliun, sebab per 1 giga itu (bebannya) Rp3 triliun," kata Said dalam rapat pembahasan RAPBN 2023 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (12/9/2022).
(Baca: Listrik PLN Selalu Oversupply sejak 9 Tahun Terakhir)
Kendati kerap mengalami oversupply, listrik yang diproduksi PLN secara mandiri sebetulnya selalu defisit atau lebih rendah dari jumlah listrik yang terjual ke pelanggan. Adapun defisit itu tertutupi karena PLN melakukan pembelian listrik ke pihak lain. Data terkait hal ini dapat dilihat dalam laporan Statistik PLN 2021.
Pada tahun 2021 PLN tercatat memproduksi listrik sendiri sebesar 182,97 ribu GWh serta membeli dari pihak luar sebesar 106,49 ribu GWh. Dengan demikian, total pasokan listrik PLN tahun lalu mencapai 289,47 ribu GWh.
Sementara itu, listrik yang terjual ke pelanggan pada 2021 hanya 257,63 ribu GWh. Sehingga pada akhir tahun lalu ada selisih kelebihan pasokan sekitar 31,8 ribu GWh.
Hal ini mengindikasikan bahwa oversupply PLN bisa jadi bukan disebabkan serapan konsumen yang kurang, melainkan karena pembelian listrik dari pihak lain yang berlebih.
(Baca: PLN Rutin Beli Listrik untuk Pasokan Nasional, Jumlahnya Terus Bertambah)