Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia memproduksi tembakau sebanyak 225,7 ribu ton, turun 8% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Pada 2022, sekitar 99,6% produksi tembakau nasional berasal dari perkebunan rakyat, yakni perkebunan yang dikelola masyarakat dengan skala usaha kecil atau usaha rumah tangga.
Sementara 0,4% sisanya berasal dari perkebunan besar, yaitu perkebunan yang dikelola secara komersial oleh perusahaan berbadan hukum, terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) Nasional/Asing.
(Baca: Terancam RUU Kesehatan, Ini Provinsi Penghasil Tembakau Indonesia)
Adapun saat ini para petani tembakau tengah "terancam". Pasalnya, ada wacana kebijakan yang menyetarakan produk hasil tembakau dengan narkotika.
Wacana itu tertuang dalam Pasal 154 draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang berbunyi:
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat.
(3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
- narkotika;
- psikotropika;
- minuman beralkohol;
- hasil tembakau; dan
- hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Pasal itu pun dikritik oleh sejumlah pihak, salah satunya Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Mahbub Ma'afi.
Kiai Mahbub menilai, Pasal 154 RUU Kesehatan tersebut berpotensi mengancam perekonomian petani tembakau.
"RUU (Kesehatan) ini kontroversial karena ada satu bagian yang secara eksplisit menyamakan produk olahan tembakau dengan zat adiktif lainnya, seperti psikotropika, narkotika, dan alkohol," kata Kiai Mahbub, disiarkan situs resmi PBNU, Senin (8/5/2023).
"Jadi, kalau mereka menanam tembakau, itu seperti dikategorikan sebagai penanam narkotika atau mariyuana,” lanjutnya.
Pandangan serupa disampaikan Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU, Nur Kholis, yang juga merupakan mantan ketua Komnas HAM.
"Masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya, jika pekerjaan dan ladang kehidupan 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?" kata Nur Kholis.
(Baca: 10 Negara dengan Kebijakan Cukai Rokok Terbaik)