Nikel adalah salah satu sumber daya mineral yang menjadi komoditas strategis di pasar global.
International Energy Agency (IEA) menyatakan nikel merupakan bahan baku penting bagi industri baterai kendaraan listrik serta pembangkitan energi geotermal.
Permintaan nikel di pasar global pun diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan penguatan tren energi baru-terbarukan (EBT).
"Permintaan nikel untuk teknologi energi bersih akan berkembang pesat hingga 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040," prediksi IEA dalam laporan Southeast Asia Energy Outlook 2022.
IEA menilai hal ini merupakan peluang besar bagi negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina yang merupakan negara produsen nikel terbesar dunia.
"Indonesia sendiri menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan nikel global. Sehingga rantai pasokan nikel tampaknya akan terpengaruh signifikan oleh kebijakan Indonesia," ungkap IEA.
IEA memperkirakan nilai penjualan sumber daya nikel dari kawasan Asia Tenggara pada 2020 baru mencapai US$15,2 miliar. Kemudian pada 2030 nilainya diproyeksikan naik dua kali lipat lebih menjadi US$36,6 miliar, dan meningkat lagi jadi US$40,8 miliar pada 2050.
Namun, IEA menilai ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia dan Filipina dalam menangkap peluang ini.
"Tantangan utama bagi dua negara tersebut adalah mengembangkan sumber daya mereka secara berkelanjutan, mengingat banyaknya masalah seputar emisi karbon, pembuangan limbah, penggunaan lahan, dan dampak lingkungan dari pertambangan," jelas IEA.
"Penanganan masalah-masalah tersebut sangat penting untuk memposisikan kawasan Asia Tenggara sebagai pemasok nikel yang andal dan bertanggung jawab," lanjutnya.
Adapun Indonesia sudah menerapkan larangan ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020. Larangan ini diterapkan seiring dengan pengembangan industri hilir, supaya sumber daya nikel bisa diolah di dalam negeri.
(Baca Juga: IEA Prediksi Permintaan Bahan Bakar Hijau Meningkat di Pasar Global)