Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume impor minyak dan gas (migas) Indonesia meningkat 5,61 juta ton menjadi 47,74 juta ton pada 2022, sedangkan volume ekspornya turun 8,66% menjadi 24,56 juta ton.
Alhasil, volume perdagangan migas nasional mengalami defisit 23,18 juta ton pada 2022. Volume defisit tersebut meningkat 52,13% dibanding 2021, sekaligus menjadi defisit terbesar sejak 2010.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia pertama mencatat defisit perdagangan migas pada 2013, kemudian di tahun-tahun berikutnya defisit kian melebar seperti terlihat pada grafik.
Pada 2022 nilai impor migas Indonesia juga melonjak 58,32% menjadi USD 40,42 miliar, sementara nilai ekspor migas hanya meningkat 30,8% menjadi USD 16,02 miliar.
Dengan demikian neraca perdagangan migas Indonesia juga mengalami defisit senilai USD 24,4 miliar pada 2022, meningkat 83,69% dibanding nilai defisit 2021 yang hanya USD 13,28 miliar.
Kondisi ini tampaknya terjadi karena belum ditemukannya sumur-sumur baru yang dapat mendorong lifting migas nasional, sedangkan produksi dari sumur migas existing semakin terbatas.
Di sisi lain, ekonomi domestik yang terus tumbuh membutuhkan sumber energi yang lebih banyak, jauh melampaui kemampuan produksi migas nasional. Pemerintah pun harus menambah impor minyak mentah dan minyak olahan guna memenuhi kebutuhan tersebut.
(Baca: Neraca Perdagangan Migas Indonesia Selalu Defisit Lebih dari 7 Tahun Terakhir)