Badan Pusat Statitik (BPS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku industri pengolahan tembakau mencapai Rp 135,75 triliun pada 2022.
Nilai tersebut porsinya mencapai 4,21 persen dari total PDB industri pengolahan non migas. Nilai tersebut juga berkontribusi sebesar 0,96 persendari total PDB nasional yang mencapai Rp 19,59 kuadriliun.
Adapun berdasarkan berdasarkan atas dasar harga konstan 2010, PDB industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi sedalam 2,34 persen menjadi Rp82,17 triliun pada tahun lalu dibanding tahun sebelumnya. Kontraksi ini kali ketiga secara beruntun.
Kebijakan pemerintah yang kembali menaikkan tarif cukai tembakau menekan industri pengolahan tembakau nasional. Dalam sedekade terakhir industri pengolahan tembakau mencatat pertumbuhan negatif sebanyak 5 kali seperti terlihat pada grafik.
Pada 2020, cukai rokok naik 23 persen membuat industri rokok mengalami kontraksi sedalam 5,78 persen. Demikian pula pada 2021, cukai tembakau naik 12,5 persen dan industri pengolahan tembakau kembali mencatat pertumbuhan negatif 1,32 persen.
Pada 2022, cukai rokok kembali naik sebesar 12 persen pada 2022 dan kembali berdampak terhadap industri pengolahan tembakau kembali mengalami kontraksi sebesar 2,34 persen.
Terkontraksinya industri pengolahan tembakau juga dipicu oleh kian meluasnya masyarakat perokok tembakau mengganti dengan rokok elektrik (vape).
Cukai hasil tembakau (CHT) merupakan salah satu andalan pendapatan pemerintah. Berdasarkan dari Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan penerimaan CHT sepanjang 2022 mencapai Rp 218,62 triliun.
Nilai tersebut mencapai 104 persen dari target tahun lalu senilai Rp209,91 triliun. Penerimaan CHT tahun lalu tumbuh 15,8% dari tahun sebelumnya yang hanya senilai Rp188,81 triliun.
(Baca: Tarif Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Ini Tren Penerimaannya hingga September 2022)