Sejak invasinya ke Ukraina pada akhir Februari 2022, Rusia sudah menerima rentetan sanksi ekonomi dari berbagai negara dan lembaga internasional, mulai dari pembatasan perdagangan sampai pembekuan cadangan devisa.
Menurut data Castellum, pada Maret 2022 Rusia bahkan menyandang gelar sebagai negara dengan sanksi internasional terbanyak.
Kendati demikian, berbagai sanksi tersebut tampaknya belum cukup kuat "menghajar" perekonomian Rusia. Hal ini salah satunya terindikasi dari nilai tukar mata uang Rusia, yakni rubel, yang dalam beberapa bulan belakangan cenderung terus menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut data dari Yahoo Finance, nilai tukar rubel terhadap dolar AS memang sempat jatuh menjadi rata-rata US$0,012 per rubel pada Februari-Maret 2022, tak lama setelah perang meletus.
Namun, di bulan-bulan berikutnya Rubel mengalami penguatan hingga mencapai rata-rata US$0,0167 per rubel pada Agustus 2022. Level ini bahkan lebih tinggi dari masa sebelum Rusia menginvasi Ukraina, seperti terlihat pada grafik.
"Negara yang paling banyak kena sanksi ini tampaknya tidak semenderita yang diperkirakan banyak orang. Mata uang Rusia baru-baru ini dicap sebagai salah satu yang terkuat di dunia," jelas John Letzing, Strategic Intelligence di World Economic Forum (WEF), dalam laporan analisisnya di situs resmi WEF Juli 2022.
Menurut John Letzing, fenomena penguatan Rubel ini salah satunya terjadi berkat komoditas energi fosil Rusia yang masih laku di pasar global.
"Harga minyak yang lebih tinggi meredam pukulan bagi Rusia selaku produsen minyak terbesar ketiga di dunia. Rusia juga telah melakukan de-dolarisasi ekonominya dengan cara melawan tekanan ekonomi global yang didominasi dolar," jelas John Letzing.
"Keinginan beberapa negara untuk terus membeli energi Rusia juga diperkirakan meringankan efek sanksi," tambahnya.
(Baca: 100 Hari Perang, Rusia "Surplus" Miliaran Euro dari Ekspor Energi)