Dalam 100 hari pertama invasinya ke Ukraina, Rusia telah mengantongi pendapatan dari ekspor energi fosil sebesar €93 miliar atau sekitar Rp1,42 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.322 per euro).
Adapun sekitar 61% dari angka tersebut berasal dari pembelian negara-negara Uni Eropa.
Hal ini diungkapkan lembaga riset Finlandia, yaitu Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dalam laporan riset bertajuk Financing Putin's War yang dirilis 13 Juni 2022.
Menurut data yang dihimpun CREA dari Eurostat dan UN Comtrade, selama periode 100 hari pertama perang (24 Februari-3 Juni 2022) negara pembeli energi fosil terbesar dari Rusia adalah Cina.
Setelahnya ada Jerman, Italia, Belanda, Turki, Polandia, Prancis, dan India, dengan rincian nilai pembelian seperti terlihat pada grafik.
"Pendapatan dari ekspor bahan bakar fosil ini menjadi pendukung utama pembiayaan militer dan agresi Rusia," jelas CREA dalam laporannya.
CREA mengestimasikan dalam periode 100 hari pertama perang Rusia sudah menghabiskan €84 miliar atau sekitar Rp1,28 kuadriliun untuk kebutuhan militer.
Namun, pendapatan ekspor energi Rusia selama periode tersebut nilainya lebih besar, sehingga diperkirakan mampu menutup seluruh pembiayaan perangnya, bahkan mungkin menyisakan surplus €9 miliar atau sekitar Rp137 triliun.
Merespons hal ini, CREA pun mendorong negara-negara untuk membatasi bahkan menyetop pembelian energi fosil dari Rusia, demi membantu mengakhiri kekacauan perang di wilayah Ukraina.
"Buat rencana untuk mengganti energi fosil Rusia dengan energi bersih sesegera mungkin," tambah CREA.
(Baca Juga: Terdampak Invasi Rusia, Inflasi di Eropa Melambung)