Menurut data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), per 4 September 2025, luas perhutanan sosial di Indonesia mencapai 8,32 juta hektare.
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Berdasarkan skema, perhutanan sosial dibagi menjadi 5, yaitu hutan adat, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan kehutanan.
Hutam kemasyarakatan mendapatkan proporsi tertinggi, sementara hutan adat menjadi yang terendah.
Berikut ini persentase perhutanan sosial di Indonesia periode 2007-2025 berdasarkan skemanya:
- Hutan kemasyarakatan: 35,71% (3.444 surat keputusan)
- Hutan tanaman rakyat: 29,39% (2.835 surat keputusan)
- Hutan desa: 22,08% (2.130 surat keputusan)
- Kemitraan kehutanan: 11,33% (1.093 surat keputusan)
- Hutan adat: 1,48% (143 surat keputusan).
Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
Hutan tanaman rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan desa adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Kemitraan kehutanan adalah pihak memegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan mitra/masyarakat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi.
Sementara hutan adat didefinisikan sebagai hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
(Baca: Luas Area Perhutanan Sosial di 38 Provinsi Indonesia Agustus 2025)