Konflik geopolitik, lonjakan harga komoditas, gelombang inflasi, serta berbagai kondisi yang terjadi tahun ini membuat perekonomian global berisiko mengalami resesi.
Hal ini disampaikan Bank Dunia dalam laporan riset berjudul Is a Global Recession Imminent? yang dirilis September 2022.
"Perkiraan kami tidak menunjukkan akan ada resesi global pada 2022–2023. Tapi, berdasarkan pengalaman dari resesi sebelumnya, saat ini sudah ada setidaknya dua gejala yang meningkatkan kemungkinan resesi global dalam waktu dekat," jelas Bank Dunia dalam laporannya.
"Pertama, sejak tahun 1970 setiap peristiwa resesi global selalu didahului oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, seperti yang terjadi akhir-akhir ini," jelas laporan tersebut
"Kedua, resesi global selalu terjadi seiring dengan merosotnya perekonomian di negara-negara besar," lanjutnya.
Menurut proyeksi Bank Dunia, seandainya terjadi resesi, perekonomian global hanya akan tumbuh 2,8% pada 2022, kemudian merosot ke 0,5% pada 2023, dan baru mulai pulih ke 2% pada 2024.
Bank Dunia juga memprediksi, seandainya resesi memang terjadi dampaknya akan lebih dirasakan oleh negara-negara maju ketimbang negara berkembang.
Dalam skenario resesi global, Bank Dunia memperkirakan ekonomi negara maju bisa terkontraksi 0,6% pada 2023, dan hanya tumbuh 1% pada 2024.
Sedangkan ekonomi negara berkembang diprediksi tetap mampu tumbuh positif meski melambat, seperti terlihat pada grafik.
"Analisis kami menunjukkan bahwa ekonomi global dapat lolos dari resesi. Namun, ini membutuhkan pengetatan tambahan di pasar keuangan," jelas Bank Dunia.
"Lebih penting lagi, pembuat kebijakan perlu memanfaatkan semua pilihan yang tersedia untuk mengatasi inflasi dan mengurangi risiko perlambatan ekonomi," lanjutnya.
(Baca: Tingkat Risiko Resesi Negara Asia Pasifik, Bagaimana Indonesia?)