Energi surya, angin, dan air diproyeksikan memegang peran penting dalam pembangkitan listrik Indonesia di masa depan.
Hal ini terlihat dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, yang ditetapkan tanggal 10 April 2025.
(Baca: Potensi Energi Terbarukan RI Besar, Baru Dimanfaatkan 0,3%)
Dalam peraturan tersebut, pemerintah memproyeksikan Indonesia akan memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas total sekitar 443 gigawatt (GW) pada tahun 2060.
Kapasitas terbesar ditargetkan berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), yakni 108,7 GW.
Kemudian target kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB) 73,5 GW, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 70,5 GW.
Jika digabung, kapasitas energi surya, angin, dan air ini hampir 253 GW, setara 57% dari total target kapasitas pembangkit nasional tahun 2060.
Kemudian 43% sisanya diproyeksikan berasal dari gabungan berbagai jenis pembangkit, baik yang berbasis energi baru, energi terbarukan, energi fosil, atau kombinasi.
Pemerintah menargetkan nantinya ada pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) yang dikombinasikan dengan bahan bakar biomassa (cofiring), yang dilengkapi teknologi penangkap emisi karbon atau carbon capture storage (CCS).
Berikutnya ada pembangkit listrik tenaga gas/gas uap/mesin gas/mesin gas uap (PLTG/GU/MG/MGU) yang juga dilengkapi CCS.
Lalu ada pembangkit listrik berbasis tenaga nuklir (PLTN), gas hidrogen (PLTG/GU/MG/MGU H2), panas bumi (PLTP), batu bara dan amonia (PLTU NH3), dan biomassa (PLTBio).
Ada pula pembangkit listrik berbasis tenaga arus laut (PLTAL), serta tenaga panas buangan dari proses industri (waste heat) dengan target kapasitas seperti terlihat pada grafik.
(Baca: Kapasitas Pembangkit Listrik RI Naik 72% Sedekade Terakhir)