Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah provinsi di Pulau Sumatra pada akhir November 2025 dipengaruhi kondisi lingkungan yang rapuh akibat industri ekstraktif.
"Banjir dan longsor beruntun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir bukan sekadar bencana hidrometeorologis biasa, tetapi gejala dari krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatra," kata Jatam dalam siaran pers (28/11/2025).
"Situasi tersebut tidak bisa lagi dijelaskan hanya dengan narasi 'cuaca ekstrem', melainkan harus dibaca sebagai akibat langsung dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai oleh industri ekstraktif," kata mereka.
(Baca: BMKG: Bencana Sumatra Dipicu Hujan Ekstrem Akhir November 2025)
Menurut Jatam, ada banyak kawasan hutan di Pulau Sumatra yang beralih dari fungsi lindung menjadi lahan industri ekstraktif melalui skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
PPKH adalah izin dari pemerintah terkait penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Jatam menemukan, saat ini ada sedikitnya 271 PPKH di Pulau Sumatra, dengan luas total 53.769,48 hektare (ha).
PPKH paling luas diberikan untuk tambang, yakni 38.206,46 ha, setara 71% dari total luas PPKH di Pulau Sumatra.
Berikut rincian jumlah PPKH atau izin penggunaan kawasan hutan di Pulau Sumatra, serta luas kawasan hutan yang digunakan untuk sektor industri ekstraktif:
- Tambang: 66 izin, luas 38.206,46 ha
- Minyak dan gas (migas): 51 izin, luas 4.823,87 ha
- Panas bumi/geothermal: 11 izin, luas 436,92 ha
- Proyek energi lainnya: 72 izin, luas 3.758,68 ha
"Sisanya diberikan untuk keperluan telekomunikasi, pemerintahan, dan berbagai kepentingan lain," kata Jatam.
(Baca: 6 Provinsi di Sumatra dengan Izin Tambang Minerba Aktif Terbanyak)