Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), bencana banjir dan longsor yang melanda beberapa provinsi di Pulau Sumatra pada akhir November 2025 dipengaruhi kondisi lingkungan yang rapuh akibat industri ekstraktif, salah satunya pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
"Banjir dan longsor beruntun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir bukan sekadar bencana hidrometeorologis biasa, tetapi gejala dari krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatra," kata Jatam dalam siaran pers (28/11/2025).
"Situasi tersebut tidak bisa lagi dijelaskan hanya dengan narasi 'cuaca ekstrem', melainkan harus dibaca sebagai akibat langsung dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai oleh industri ekstraktif," kata mereka.
(Baca: BMKG: Bencana Sumatra Dipicu Hujan Ekstrem Akhir November 2025)
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diolah Jatam, terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif di Pulau Sumatra, dengan total luas 2,46 juta hektare.
Kepadatan izin tersebut terkonsentrasi di enam provinsi, termasuk Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang baru saja dilanda bencana. Berikut rinciannya.
- Kepulauan Bangka Belitung: 443 izin
- Kepulauan Riau: 338 izin
- Sumatera Selatan: 217 izin
- Sumatera Barat: 200 izin
- Jambi: 195 izin
- Sumatera Utara: 170 izin
"Sementara provinsi lain, seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut," kata Jatam.
"Ini berarti jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS [daerah aliran sungai] untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan," lanjutnya.
(Baca: Riau, Provinsi yang Paling Banyak Kehilangan Hutan pada 2024)