Pada akhir November 2025, bencana banjir dan tanah longsor melanda puluhan kabupaten/kota yang tersebar di tiga provinsi Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bencana ini dipicu hujan ekstrem.
Berdasarkan kriteria BMKG, curah hujan di atas 150 milimeter (mm)/hari sudah masuk kategori tinggi. Namun, curah hujan di sejumlah wilayah Sumatra pada akhir November 2025 melampaui ambang batas tersebut.
"Curah hujan pada 25 November, 26 November, hingga 27 November itu sampai hitam warnanya, itu sangat ekstrem," kata Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani dalam rapat dengan Komisi V DPR, Senin (1/12/2025).
"Bahkan tertinggi ada yang 411 mm per hari di Kabupaten Bireuen [Aceh], ini bahkan lebih tinggi dari hujan bulanan di sana, ini tumpah dalam satu hari, dan bayangkan ini terjadi selama tiga hari," lanjutnya.
"Ini yang menyebabkan bencana hidrometeorologi sangat masif terjadi, karena tanah atau lahan tidak mampu menahan tumpahan air hujan yang demikian banyak, hingga terjadi banjir bandang, longsor, dan banjir," kata Teuku.
Bukan hanya di Bireuen, selama periode 25-27 November 2025, BMKG juga mencatat curah hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 150 mm/hari terjadi di sejumlah wilayah sekitarnya, seperti:
- Aceh Utara (Aceh): 310,8 mm/hari
- Medan (Sumatera Utara): 262,2 mm/hari
- Tapanuli Tengah (Sumatera Utara): 229,7 mm/hari
- Padang Pariaman (Sumatera Barat): 154 mm/hari
"Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka telah memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan intensitas curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat," kata BMKG dalam siaran pers (27/11/2025).
Pemicu Bencana Sumatra Bukan Hanya Hujan
Kendati begitu, beberapa pihak lain menilai penyebab bencana Sumatra bukan sekadar hujan, tapi juga kondisi lingkungan yang rentan.
Hal ini salah satunya diungkapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan, Dyah Murtiningsih.
Menurut Dyah, selain intensitas hujan tinggi, bencana Sumatra dipengaruhi perubahan tutupan lahan.
"Perubahan tutupan lahan ini tidak hanya di dalam kawasan hutan, tetapi juga di luar kawasan hutan yang fungsinya harusnya menangkap air,” kata Dyah, diberitakan Katadata.co.id (28/11/2025).
Hal serupa diungkapkan Hatma Suryatmojo, peneliti hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai bencana Sumatra dipengaruhi kerusakan lingkungan, khususnya di daerah aliran sungai (DAS).
"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi 'dosa ekologis' di hulu DAS," kata Hatma dalam siaran pers (1/12/2025).
"Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS," kata dia.
Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, penyebab utama bencana adalah kerentanan ekologis akibat alih fungsi hutan menjadi lahan industri ekstraktif, salah satunya perkebunan sawit.
"Kita tahu bahwa sawit itu fungsinya bukan mengatur tata air, tapi justru merusak siklus air," kata Juru Kampanye Walhi, Uli Arta, kepada Katadata.co.id (28/11/2025).
"Ketika hutan berubah menjadi monokultur sawit, banjir dan longsor itu sebuah keniscayaan yang terus-menerus akan berulang," ujarnya.
(Baca: Luas Perkebunan Sawit di Provinsi Indonesia pada 2024)