Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), "penerimaan perpajakan" merupakan akumulasi pendapatan negara dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), pendapatan cukai, pajak perdagangan internasional, dan pajak lainnya.
Adapun laju pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia tak selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Salah satu contohnya terlihat pada periode 2007—2008.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2007 tingkat pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia mencapai 19,99% (year-on-year/yoy), lalu menguat jadi 34,16% (yoy) pada 2008.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2007 mencapai 6,35% (yoy), tapi melemah jadi 6,01% (yoy) pada 2008.
Hal serupa terjadi pada 2010—2011, di mana tingkat pertumbuhan penerimaan perpajakan menguat, tapi pertumbuhan ekonomi nasional melemah.
Ada juga kasus lain yang terjadi pada 2015—2016. Ketika itu pertumbuhan penerimaan perpajakan melemah, tapi pertumbuhan ekonomi justru menguat seperti terlihat pada grafik.
(Baca: Rekor Baru, Penerimaan Pajak Tembus Rp2.000 Triliun pada 2022)
Kendati laju pertumbuhannya tak selalu sejalan, pajak diperkirakan tetap memiliki pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Hal itu tercatat dalam laporan riset Estro Dariatno Sihaloho, staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran, yang berjudul "Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Pendekatan Vektor Autoregressive" (Jurnal Forum Ekonomi, 2020).
Estro Dariatno Sihaloho meneliti berbagai data ekonomi makro Indonesia periode 1970—2010. Ia pun menemukan ada jenis pajak tertentu yang kontribusinya kuat bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
"Hasil estimasi menunjukkan bahwa pajak penghasilan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pemerintah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia," tulis Estro dalam laporannya.
(Baca: Setoran Pajak 2022 Tembus Rp2.000 Triliun, Mayoritas dari Pajak Penghasilan)