The Fed Naikkan Suku Bunga di Tengah Proyeksi Muram IMF Medio 2023

Moneter
1
Adi Ahdiat 27/07/2023 11:11 WIB
Pergerakan Suku Bunga The Fed (Januari 2001-Juli 2023)
databoks logo
  • A Font Kecil
  • A Font Sedang
  • A Font Besar

Bank sentral Amerika Serikat (AS), yaitu The Federal Reserve atau The Fed, menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points ke kisaran 5,25%-5,5% pada Juli 2023.

Ini merupakan kenaikan bunga yang kesebelas kalinya sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada awal 2022, sekaligus menjadi rekor suku bunga The Fed tertinggi dalam dua dekade terakhir.

The Fed pun menyiratkan adanya kemungkinan untuk menaikkan lagi suku bunga di masa mendatang. Pasalnya, pada Juni 2023 laju inflasi AS masih di level 3%, sedangkan The Fed menetapkan target inflasi di negerinya bisa turun ke 2%.

"Dalam menentukan pengetatan kebijakan tambahan yang mungkin tepat untuk mengembalikan inflasi menjadi 2 persen, Komite akan mempertimbangkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi dan inflasi, serta perkembangan sektor keuangan," kata Komite The Fed dalam siaran persnya, Rabu (26/7/2023).

(Baca: IMF Prediksi Ekonomi Negara Maju Melemah pada 2023, Kecuali Jepang)

Beberapa hari sebelum The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga ini, International Monetary Fund (IMF) baru saja merilis proyeksi ekonomi yang cukup suram untuk AS.

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Juli 2023, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS akan melambat dari 2,1% pada 2022 menjadi 1,8% pada 2023, dan turun lagi menjadi 1% pada 2024.

Perlambatan ekonomi juga diramal akan melanda negara-negara maju lainnya, seperti Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia.

"Sekitar 97 persen negara-negara maju diproyeksikan memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah pada 2023," kata IMF dalam laporannya.

Melemahnya negara maju kemudian diprediksi bakal menyeret turun pertumbuhan ekonomi global, dari 3,5% pada 2022 menjadi 3% pada 2023.

"Negara-negara maju terus memicu penurunan pertumbuhan ekonomi global dari 2022 sampai 2023, dengan kinerja manufaktur yang lebih lemah," kata IMF.

"Turunnya pertumbuhan pada 2023 tak hanya merefleksikan arah permintaan global, tapi juga pergeseran komposisi permintaan ke sektor jasa domestik, mencerminkan efek apresiasi dolar AS, dan meningkatnya hambatan perdagangan," lanjutnya.

(Baca: Proyeksi IMF: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Stabil sampai 2024)

Editor : Adi Ahdiat
Data Populer
Lihat Semua