Pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The Federal Reserve dan beberapa bank sentral lain telah menyebabkan depresiasi mata uang sejumlah negara terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Hal tersebut juga dialami Indonesia. Rupiah tercatat telah melemah ke kisaran Rp14.800 per dolar AS pada pertengahan Juni 2022, dari sekitar Rp14.500 pada bulan sebelumnya.
Kendati demikian, menurut Teuku Riefky, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), penurunan nilai rupiah tidak separah mata uang lainnya.
"Walaupun sedikit terdepresiasi, rupiah saat ini masih relatif stabil," jelas Riefky dalam laporan Macroeconomic Analysis Series yang dirilis Kamis (23/6/2022).
Mengutip catatan Riefky, sejak awal tahun sampai 20 Juni 2022 rupiah hanya terdepresiasi sebesar 4,1% (year-to-date/ytd).
Angka tersebut lebih rendah dari depresiasi ringgit Malaysia yang mencapai 5,7% (ytd), peso Filipina 6,1% (ytd), dan baht Thailand 6,4% (ytd).
Riefky menilai daya tahan rupiah salah satunya didukung oleh cadangan devisa Indonesia yang masih tergolong tinggi, yakni US$135,6 miliar pada Mei 2022.
"Cadangan devisa masih cukup untuk menahan guncangan karena cadangan tersebut setara dengan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa juga masih tercatat lebih tinggi dari standar kecukupan cadangan internasional sekitar 3 bulan impor," jelas Riefky.
Menurut Riefky, dari sisi domestik Indonesia masih berada di jalur pemulihan dengan kinerja ekonomi yang kuat. Meskipun, dari sisi eksternal volatilitas ekonomi global belum mereda serta membawa prospek yang suram bagi perekonomian dunia.
"Mempertimbangkan kondisi domestik dan eksternal, stance BI masih harus 'behind the curve' untuk saat ini dengan mempertahankan suku bunga kebijakan di 3,50% dan melanjutkan langkah-langkah makroprudensial yang akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," kata Riefky.
(Baca Juga: Dolar AS Digdaya, Mata Uang Asia Melemah sampai 14 Juni 2022)