Sepanjang 2018, nilai tukar rupiah cenderung melemah mengikuti terdepresiasinya beberapa mata uang Asia lainnya seperti peso dan rupe. Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah pada Rabu (7/3) ditransaksikan di level Rp 13.762/dolar Amerika Serikat (AS) yang berarti telah melemah 1,5% dari posisi akhir tahun lalu. Pelemahan rupiah ini merupakan terbesar ketiga dibanding mata uang Asia lainnya. Sementara yen justru menguat lebih dari 6% imbas membaiknya ekspor Jepang dan repatriasi mata uang Negeri Matahari Terbit menjelang akhir Maret.
Pengamat pasar uang Farial Anwar mengemukakan bahwa pelemahan rupiah dipicu oleh faktor global, yakni adanya potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate) lebih dari tiga kali sepanjang tahun ini. Pasalnya data perekonomian Negeri Paman Sam cenderung membaik ditambah lagi kebijakan ekonomi proteksionis yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump sehingga membuka peluang kenaikan suku bunga AS dampak menguatnya laju inflasi. Sebagai informasi, The Fed akan mengadakan Rapat Dewan Gubernur pada 20-21 Maret 2018.
Sebagai antisipasi kenaikan suku bunga The Fed tersebut, masih menurut Farial, para pelaku pasar lebih memilih memegang Greenback (sebutan dolar AS) daripada memegang mata uang lokal. Ini tercermin dari turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia di bawah 6.400 serta berkurangnya porsi kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) pada 5 Maret 2018 menjadi Rp 836,94 triliun (39,05%) dari posisi 31 Januari senilai Rp 869,77 triliun (41,29%) pada 31 Januari. “Yang terpenting saat ini adalah jangan dibiarkan rupiah menembus Rp 13.800,” kata Farial.
(Baca databoks: Selisih Bunga Rupiah dengan Dolar AS Kian Menyempit)