Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengubah syarat pengajuan calon kepala daerah pada Selasa (20/8/2024).
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan (3) UU Nomor 10 Tahun 2016, calon kepala daerah hanya bisa diusung oleh partai/gabungan partai politik yang meraih minimal 20% kursi DPRD; atau meraih kursi DPRD dengan perolehan minimal 25% suara sah di daerah tersebut.
Namun, dengan adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, kini calon kepala daerah bisa diajukan oleh partai/gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD, dengan syarat mengantongi minimal 6,5—10% suara sah, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut.
Untuk wilayah dengan jumlah DPT antara 6 juta sampai 12 juta jiwa, seperti Jakarta, syarat perolehan suara minimalnya adalah 7,5%.
Putusan ini membuka peluang bagi partai di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk mengusung calon gubernur (cagub) di Pilkada Jakarta.
Suara KIM Plus dan Non-KIM Plus di Jakarta
Dalam Pemilu DPRD DKI Jakarta 2024, KIM Plus yang beranggotakan Gerindra, Golkar, PSI, PAN, Demokrat, Gelora, PBB, Garuda, PKS, PKB, Nasdem, PPP, dan Perindo mengantongi suara gabungan sebesar 83,15%.
Koalisi "gemuk" ini sudah mendeklarasikan akan mengusung Ridwan Kamil sebagai cagub Jakarta.
Jika mengacu ke aturan lama yang mematok perolehan suara minimal 25%, KIM Plus merupakan satu-satunya koalisi partai yang bisa mengusung cagub di Pilkada Jakarta tahun ini.
Tapi, berkat putusan baru MK yang menetapkan ambang batas suara di Jakarta minimal 7,5%, kini PDIP bisa mengusung calon sendiri karena perolehan suaranya di Jakarta mencapai 14%.
Menurut politikus PDIP Masinton Pasaribu, partainya akan mengusung Anies Baswedan sebagai cagub Jakarta.
"Insya Allah ada Anies. Jadi nanti biar tanggal 27 Agustus, PDI Perjuangan mencalonkan Pak Anies Baswedan," kata Masinton, disiarkan Metrotvnews.com, Rabu (21/8/2024).
Sementara partai non-KIM Plus lain, yaitu Partai Buruh, Partai Ummat, Hanura, dan PKN tetap tidak punya peluang memajukan calon di Pilkada Jakarta karena perolehan suaranya tidak mencapai ambang batas, sekalipun mereka berkoalisi.
(Baca: Siapa yang Diuntungkan dari Putusan MK soal Pilkada?)