Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini dicatat oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), badan laboratorium ilmiah pemerintah Amerika Serikat.
Menurut data NOAA, sepanjang tahun 1980 rata-rata konsentrasi CO2 di atmosfer global masih di bawah 350 part per million (ppm).
Artinya, ada kurang dari 350 molekul CO2 dalam setiap satu juta molekul di udara.
Namun, di tahun-tahun berikutnya konsentrasi CO2 di udara terus meningkat, hingga mencapai 421 ppm pada Desember 2023.
Angka tersebut merupakan rekor tertinggi baru sepanjang pencatatan NOAA.
Adapun menurut National Aeronautics and Space Administration (NASA), keberadaan karbon dioksida di atmosfer bisa menghangatkan suhu bumi dan menyebabkan perubahan iklim.
"Aktivitas manusia telah meningkatkan kandungan karbon dioksida di atmosfer sebesar 50% dalam waktu kurang dari 200 tahun," kata NASA di situs resminya.
(Baca: Emisi Energi Global Meningkat pada 2023, Rekor Tertinggi Baru)
Hal ini sejalan dengan laporan International Energy Agency (IEA). Menurut IEA, emisi CO2 dari penggunaan energi fosil naik hingga menembus rekor baru pada 2023.
Seiring dengan itu, Copernicus Climate Change Service (C3S) menyatakan bahwa tahun 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah.
"Hal-hal ekstrem yang kami amati dalam beberapa bulan terakhir memberi kesaksian dramatis tentang betapa jauh iklim kita sudah berubah," kata Direktur CS3 Carlo Buontempo dalam siaran persnya awal tahun ini (9/1/2024).
"Jika kita ingin berhasil mengelola risiko iklim, kita perlu segera melakukan dekarbonisasi ekonomi, dan menggunakan data iklim untuk mempersiapkan masa depan," kata Carlo.
(Baca: 2023 Jadi Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah)