Jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Indonesia terus menyusut dalam sedekade terakhir.
Berdasarkan data Otoritas Jasa keuangan (OJK), pada 2014 masih ada 1.807 unit BPR, dengan rincian 1.643 BPR konvensional dan 164 BPR syariah.
Jumlahnya kemudian turun hingga menjadi 1.544 bank pada Oktober 2024, terdiri atas 1.369 BPR konvensional dan 175 BPR syariah.
Secara kumulatif, jumlah BPR pada Oktober 2024 sudah berkurang 263 bank dibanding 2014.
(Baca: Rasio Kredit Macet BPR Meningkat, Capai 11% pada Kuartal II 2024)
Menurut direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, ada beragam faktor yang memicu penyusutan jumlah BPR.
"Pertama, proses merger, di mana BPR melakukan konsolidasi untuk meningkatkan daya saing mereka," kata Yusuf, disiarkan CNNIndonesia.com (30/7/2024).
"Kedua, kejatuhan BPR karena kalah bersaing dengan bank komersial lebih besar yang masuk ke segmen kredit mikro sebagaimana BPR. Persaingan di segmen kredit mikro ini juga semakin keras dengan masuknya pemain baru, seperti bank digital dan fintech lending atau pinjaman online," lanjutnya.
Yusuf juga menilai ada sejumlah BPR yang tutup dan bangkrut karena kelemahan tata kelola, termasuk kasus penggelapan dana nasabah oleh pemilik bank.
Kemudian ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai ada faktor kekurangan modal.
"Karena mungkin mereka [BPR] dari sisi permodalan sudah tidak kuat lagi, jadi ini faktor seleksi alam saja," kata Myrdal, disiarkan CNNIndonesia.com (30/7/2024).
Adapun untuk memperkuat keberadaan BPR, OJK telah menerbitkan tiga aturan baru pada akhir 2024, yaitu:
- POJK Nomor 23 Tahun 2024 tentang Pelaporan melalui Sistem Pelaporan OJK dan Transparansi Kondisi Keuangan bagi BPR dan BPR Syariah
- POJK Nomor 24 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset BPR Syariah
- POJK Nomor 25 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi BPR Syariah
(Baca: Suku Bunga Kredit untuk Jasa Pelayanan Rumah Tangga Tertinggi)