Kesejahteraan petani tanaman pangan di Indonesia cenderung turun dalam setahun terakhir. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang melemah.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2024 NTP tanaman pangan berada di level 110,86, turun 0,46% dibanding bulan sebelumnya (month-on-month/mom), serta lebih rendah 3,22% dibanding Oktober tahun lalu (year-on-year/yoy), mengindikasikan adanya penyusutan surplus.
(Baca: Tenaga Kerja Pertanian RI Menyusut, Bergeser ke Industri dan Jasa)
NTP merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan petani. Indikator ini didasarkan pada perbandingan harga produk yang dihasilkan/dijual petani dengan harga produk yang mereka butuhkan untuk produksi/usaha dan konsumsi rumah tangganya.
Skor NTP di atas 100 mencerminkan petani mengalami surplus, di mana harga jual produk mereka lebih besar dari belanja produksi dan konsumsi. Kemudian NTP 100 artinya petani mengalami impas, dan NTP di bawah 100 mencerminkan kondisi defisit.
Adapun turunnya NTP tanaman pangan setahun terakhir beriringan dengan melemahnya harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, yang turun 6,26% (yoy) menjadi Rp6.422/kilogram pada Oktober 2024.
Demikian pula harga gabah kering giling (GKG) yang turun 7,97% (yoy) menjadi Rp7.089/kilogram.
Jika dibandingkan dengan posisi awal perhitungan NTP, dengan asumsi skor NTP = 100 pada tahun 2018, kesejahteraan petani tanaman pangan nasional hanya naik kurang dari 11% dalam enam tahun terakhir sampai Oktober 2024.
Artinya, secara rata-rata kenaikan NTP tanaman pangan tak sampai 2% per tahun.
(Baca: Mayoritas Petani RI Sudah Tua, Regenerasi Rendah)