Pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi karbon, salah satunya dengan mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan energi baru terbarukan (EBT).
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL), pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025.
Namun, menurut laporan Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, sampai akhir tahun lalu bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11%.
Jika dirunut lebih jauh, dalam enam tahun terakhir bauran EBT juga belum berubah signifikan. Selama periode 2017-2022 angkanya hanya berfluktuasi di kisaran 12% sampai 14%.
(Baca: Pertumbuhan EBT Masih Lemah sampai 2022, Kalah dari Batu Bara)
Lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia beriringan dengan investasinya yang minim.
Menurut laporan Kementerian ESDM, pada 2017 realisasi investasi di sektor EBT nasional sempat mencapai US$2 miliar. Tapi di tahun-tahun berikutnya investasi EBT cenderung menurun hingga menjadi US$1,6 miliar pada 2022.
Angka itu jauh lebih kecil dibanding investasi di sektor migas, yang nilainya selalu melebihi US$10 miliar per tahun selama periode 2017-2022.
(Baca: Investasi di Sektor Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)
Di tengah kondisi ini, Manajer Program Trend Asia Andri Prasetyo menilai target bauran EBT Indonesia sulit tercapai.
"Tiap tahunnya (bauran EBT) naik cuma sedikit, 1% saja kurang. Ini tinggal dua tahun lagi untuk mengejar sekitar 11% dengan target bauran 23%. Kalau pemerintah tidak melakukan terobosan baru, target itu akan gagal,” kata Andri dalam wawancara dengan Katadata, Jumat (25/8/2023).
Di sisi lain, Executive Director Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa sedikit lebih optimistis. Ia menilai target bauran EBT pada 2025 bisa saja tercapai jika pemerintah menggencarkan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
"Kalau PLTS atap digeber mungkin (bauran EBT) bisa mencapai 23%, plus ada penambahan dari sisi penggunaan biomassa kalau bisa ditingkatkan 10% atau 5% sesuai dengan target PLN. Jadi kuncinya di situ," ujar Fabby, dilansir Katadata (25/8/2023).
(Baca: Pembangkitan Listrik Tenaga Surya Masih Lebih Mahal Dibanding PLTU pada 2022)