Pada tahun 2021 negara-negara dengan ekonomi terbesar global mengeluarkan subsidi energi fosil senilai US$697,2 miliar. Hal ini diketahui dari hasil analisis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bersama International Energy Agency (IEA).
"Data OECD dan IEA terbaru menunjukkan bahwa dukungan pemerintah untuk bahan bakar fosil di 51 negara naik hampir dua kali lipat pada 2021, karena harga energi naik seiring pulihnya ekonomi global," jelas OECD dalam siaran persnya, Senin (29/8/2022).
"Selain itu, subsidi konsumsi energi fosil diperkirakan akan meningkat lebih jauh pada tahun 2022 karena kenaikan harga bahan bakar dan konsumsi energi," lanjutnya.
Merespons temuan ini, IEA pun mendorong negara-negara untuk mengurangi subsidi energi fosil serta mengalihkannya untuk investasi energi terbarukan.
"Subsidi bahan bakar fosil merupakan penghalang menuju masa depan yang berkelanjutan," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol dalam siaran persnya, Senin (29/8/2022).
"Peningkatan investasi dalam teknologi dan infrastruktur energi bersih adalah satu-satunya solusi jangka panjang untuk krisis energi global saat ini, sekaligus cara terbaik untuk meringankan beban konsumen dari biaya bahan bakar yang tinggi," pungkasnya.
OECD dan IEA menganalisis anggaran yang dikucurkan negara untuk mendukung produksi dan konsumsi energi fosil, mencakup minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan listrik.
Analisis ini dilakukan terhadap negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia, serta 33 negara lain yang merupakan produsen dan konsumen energi fosil terbesar. Menurut OECD dan IEA, seluruh negara yang dianalisis merepresentasikan 85% dari total pasokan energi global.
(Baca: 10 Negara Pemberi Subsidi Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia, RI Masuk Daftar)