Konflik yang melibatkan negara-negara produsen minyak di Timur Tengah kerap mempengaruhi stabilitas pasar minyak mentah global. Hal ini diungkapkan Bank Dunia dalam laporan Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2023.
"Berbagai peristiwa geopolitik di Timur Tengah sejak awal 1970-an, yang kerap ditandai dengan konflik militer, telah mempengaruhi pasokan minyak dunia, mengakibatkan lonjakan harga minyak, dan meningkatkan volatilitas," kata Bank Dunia dalam laporannya.
Menurut Bank Dunia, konflik Timur Tengah yang pertama kali mengguncang pasar minyak global adalah Perang Yom Kippur tahun 1973.
Ketika itu Israel berperang melawan negara-negara Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah. Negara-negara Arab kemudian melakukan embargo atau melarang perdagangan minyak dengan negara pendukung Israel.
"Embargo minyak Arab (dalam Perang Yom Kippur) terjadi pada Oktober 1973 sampai Maret 1974, mengakibatkan penghapusan pasokan 4,3 juta barel minyak per hari dari pasar, setara 7,5% dari pasokan global," kata Bank Dunia.
"Selama embargo tersebut, OPEC (organisasi negara eksportir minyak) menaikkan harga minyak dari US$2,7 per barel pada September 1973, menjadi US$13 barel pada Januari 1974. Meski embargo hanya berlangsung lima bulan, harga minyak riil tetap tinggi dan tidak pernah kembali ke level sebelum embargo," lanjutnya.
Bank Dunia menyebut, guncangan ekonomi akibat embargo saat itu sangat parah hingga menyebabkan lonjakan inflasi global, serta memicu resesi global tahun 1975.
Setelah Perang Yom Kippur, pasar minyak kembali terguncang pada akhir 1978 akibat Revolusi Iran, yang melibatkan konflik antara kekuatan pendukung monarki dan republik Islam di Iran.
Menurut Bank Dunia, di tengah revolusi tersebut pasar global kehilangan pasokan sekitar 5,6 juta barel minyak per hari.
"Peristiwa ini (Revolusi Iran) menyebabkan peningkatan harga minyak lebih dari dua kali lipat. Kenaikan harga yang tajam memicu turunnya permintaan minyak, penurunan kegiatan ekonomi global, dan berkontribusi terhadap peningkatan inflasi global," kata Bank Dunia.
Hal serupa terjadi lagi pada 1980 ketika perang Iran-Irak meletus, mengakibatkan hilangnya pasokan global sebanyak 4,1 juta barel minyak per hari.
Kemudian pada 1990, ketika Irak menginvasi Kuwait, pasokan global yang hilang mencapai 4,3 juta barel minyak per hari.
Setelah itu masih ada beberapa konflik lain di Timur Tengah yang mempengaruhi pasokan minyak global, seperti perang saudara Libya pada 2011, serangan terhadap fasilitas minyak Arab Saudi pada 2019, dan penjatuhan sanksi Amerika Serikat terhadap Iran.
Namun, menurut Bank Dunia konflik Timur Tengah yang muncul setelah tahun 2000-an dampaknya lebih ringan dibanding konflik-konflik terdahulu.
"Kondisi pasar kini sudah sangat berbeda. Perekonomian global kurang bergantung pada minyak; pemasok minyak lebih terdiversifikasi; beberapa negara punya stok minyak strategis; pasar berjangka membantu proses penentuan harga; dan IEA (Badan Energi Internasional) membantu merumuskan respons terhadap guncangan harga energi," kata Bank Dunia.
"Dengan adanya hal-hal tersebut, eskalasi konflik terbaru di Timur Tengah akan berdampak lebih moderat dibanding yang terjadi pada masa lalu," lanjutnya.
(Baca: Jika Perang Tak Meluas, Bank Dunia Prediksi Harga Minyak Menurun)