Palestina merupakan negara dengan perekonomian yang sangat rapuh.
Kondisi ini dipaparkan United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (ESCWA) dalam laporan Countering Economic Dependence and De-development in the Occupied Palestinian Territory (2022).
(Baca: 5 Hari Perang Israel-Palestina Hasilkan 2.300 Korban Jiwa)
Menurut ECSWA, sejak puluhan tahun lalu Israel telah memonopoli tanah dan sumber daya ekonomi Palestina.
"Sejak tahun 1967, pemerintah Israel melalui otoritas militernya menerapkan serangkaian kebijakan dan praktik yang membatasi investasi di wilayah Palestina, serta mempersempit ruang aktivitas ekonomi Palestina," kata ECSWA dalam laporannya.
"Kondisi tersebut membuat perekonomian Palestina tergerus. Data dan tren menunjukkan Palestina sudah kehilangan kelayakan dan keberlanjutan secara ekonomi," lanjutnya.
Namun, di tengah prospek suram itu masih ada sejumlah pihak yang mau berinvestasi di Palestina.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS), pada 2021 Palestina menerima foreign direct investment (FDI) atau investasi asing langsung dengan nilai total US$1,97 miliar.
Negara asal investor terbesarnya adalah Yordania, dengan nominal investasi langsung US$1,6 miliar.
Negara lain yang tergolong sebagai investor utama di Palestina adalah Qatar, Arab Saudi, Mesir, Siprus, dan Uni Emirat Arab (UEA), dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
Adapun pada 2021 sebagian besar (64,3%) aliran investasi asing di Palestina masuk ke sektor intermediasi keuangan.
Sektor intermediasi itu dijalankan oleh bank/lembaga keuangan dengan cara menghimpun dana, kemudian menyalurkannya dalam bentuk pinjaman kepada pihak yang membutuhkan.
Sektor lain yang menerima aliran investasi asing di Palestina adalah jasa transportasi, pergudangan, komunikasi, dan perdagangan (30%), sektor industri (3,5%), serta konstruksi (2,2%).
(Baca: Belanja Militer Israel Terbesar ke-2 di Timur Tengah, Bagaimana Palestina?)