Just Energy Transition Partnership (JETP) adalah mekanisme kerja sama pembiayaan untuk mendorong transisi energi di negara berkembang.
Pembiayaan JETP diberikan oleh negara maju dan organisasi internasional, supaya negara berkembang bisa mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.
Insiatif JETP pertama kali diluncurkan pada 2021, dalam Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 di Glasgow, Skotlandia.
Dalam momen tersebut, pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Uni Eropa berkomitmen memberi pembiayaan transisi energi untuk Afrika Selatan dengan nilai total US$8,5 miliar.
Kemudian pada 2022, komitmen pembiayaan JETP diberikan untuk Indonesia dengan nilai total US$20 miliar atau sekitar Rp300 triliun (asumsi kurs Rp15.000 per US$). Di tahun yang sama, Vietnam menerima komitmen serupa dengan nilai US$15,5 miliar.
Dengan demikian, dalam dua tahun belakangan, Indonesia menjadi negara penerima pembiayaan JETP terbesar di dunia.
(Baca: 10 Negara dengan Transisi Energi Terbaik di Dunia, Swedia Juara)
Namun, pembiayaan JETP ini tidak sepenuhnya "cuma-cuma". Ada sebagian pembiayaan yang berupa hibah, dan sebagian lainnya berupa pinjaman dengan bunga dan persyaratan tertentu.
Adapun menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sampai pertengahan 2023 belum ada kejelasan tentang status pembiayaan JETP untuk Indonesia.
"Sebagai model pendanaan baru, mekanismenya (JETP) masih belum jelas," kata AJI dalam laporan Kertas Posisi Transparansi Informasi untuk JETP yang Berkeadilan, Juli 2023.
"Ketidakjelasan itu meliputi berapa besar dana dalam bentuk hibah, berapa porsi utang, serta apa saja yang dapat didanai. Jika proses ini tidak transparan dan tidak cukup melibatkan orang-orang yang terdampak langsung, maka dikhawatirkan akan menjadi sumber masalah baru," kata AJI.
(Baca: Transisi Energi Indonesia Kalah dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand)