Tahun 2022 merupakan masa yang bergejolak. Pada tahun ini pandemi Covid-19 sudah relatif mereda, diiringi pulihnya berbagai sektor ekonomi yang sempat mati suri akibat pagebluk.
Tapi, di tahun ini pula perang Rusia-Ukraina meletus, yang kemudian memicu lonjakan inflasi dan guncangan ekonomi di banyak negara.
Ipsos melakukan survei terkait hal ini terhadap 20.466 responden yang tersebar di 29 negara. Mereka menemukan kecemasan masyarakat global terkait Covid-19 memang berkurang signifikan sepanjang 2022.
Pada Januari masih ada 35% responden yang mengkhawatirkan pandemi. Namun, persentasenya berangsur-angsur turun hingga menjadi 11% pada Desember.
Di sisi lain, kecemasan akan inflasi terus membesar. Awal tahun ini hanya ada 20% responden yang mencemaskan kenaikan harga. Lantas setelah perang Rusia-Ukraina pecah pada Februari, kecemasan inflasi kian menanjak hingga mencapai 40% pada Desember.
(Baca: Banyak Warga RI Merasa Biaya Hidup Bakal Naik pada 2023)
Menurut Jennifer Hubber, Kepala Organisasi Klien Global Ipsos, masyarakat dunia juga cenderung merasa bahwa inflasi akan terus melonjak sampai 2023.
"Orang-orang tidak percaya kenaikan harga akan berakhir dalam waktu dekat. Tujuh dari sepuluh orang merasa pengeluaran mereka akan semakin besar pada 2023," kata Jennifer dalam laporan Feeling the Pressure: Understanding Consumers during Inflationary Times, Selasa (29/11/2022).
Merespons hal ini, Kepala Peneliti Ipsos bidang behavioural science Colin Strong menyatakan masyarakat harus menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan kondisi.
"Saat ini kita hidup tanpa pola yang tetap dan tidak bisa lagi mengandalkan keyakinan lama. Kita perlu belajar menjalani kehidupan dengan beradaptasi terus-menerus terhadap perubahan yang cepat," kata Colin.
(Baca: Ketidakpastian Global Meningkat pada Akhir 2022)
Berbeda dengan pandangan masyarakat awam, International Monetary Fund (IMF) justru memprediksi inflasi global akan turun dari 8,8% pada 2022 menjadi 6,5% pada 2023.
"Secara umum, beberapa indikator menunjukkan bahwa lonjakan harga komoditas mungkin mulai mereda karena permintaan global melambat, hal ini membantu memoderasi inflasi," kata IMF dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022.
Namun, IMF tetap mewanti-wanti akan adanya risiko yang bisa mengerek inflasi lebih tinggi tahun depan, di antaranya kelanjutan perang Rusia-Ukraina dan cuaca ekstrem.
"Harga energi akan tetap sangat sensitif terhadap perang di Ukraina dan potensi konflik geopolitik lainnya," kata IMF.
"Peristiwa cuaca ekstrem bisa saja merusak pasokan pangan global, hingga mengerek harga bahan makanan pokok dan membawa konsekuensi mengerikan bagi negara negara miskin," lanjutnya.
(Baca: Tiga Lembaga Internasional Prediksi Ekonomi RI Turun pada 2023)