Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, mengatakan indeks demokrasi Indonesia menurun. Pernyataan itu disampaikan dalam Debat Calon Presiden (Debat Capres 2024) pertama dengan tema Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik dan Kerukunan Warga di kantor KPU, Jakarta Pusat, pada Selasa (12/12/2023).
Menurut Indeks Demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy). Indeks demokrasi Indonesia, selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung meningkat, dari 6,41 (2006) menjadi 6,95 (2014). Kemudian dalam pemerintahan Presiden Jokowi skornya berfluktuasi. Sempat mencapai 7,03 (2015) dan data terakhir mencapai 6,71 (2022).
EIU rutin menilai kondisi demokrasi di 165 negara berdasarkan lima indikator besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil. Hasil penilaiannya kemudian dirumuskan menjadi indeks berskala 0-10. Semakin tinggi skornya, maka kualitas demokrasi suatu negara diasumsikan semakin baik.
EIU juga mengelompokkan skor indeks tersebut menjadi empat jenis demokrasi, yaitu:
- Skor indeks >8: demokrasi penuh (full democracy)
- Skor indeks >6 sampai ≤8: demokrasi cacat (flawed democracy)
- Skor indeks >4 sampai ≤6: demokrasi hibrida (hybrid regime)
- Skor indeks ≤4: otoriter (authoritarian)
(Baca: Meski Bukan Terburuk di ASEAN, Indeks Demokrasi Liberal Indonesia Masih di Bawah Timor Leste)