Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya (hasil pemekaran dari Provinsi Papua Barat), tercemar akibat pertambangan nikel.
Hal ini salah satunya terlihat dari pemberitaan TribunSorong.com, yang menunjukkan foto air laut di pantai Pulau Kawe, Raja Ampat, berwarna cokelat keruh.
"Kami saksi hidup, melihat langsung kondisi alam di area konsesi tambang nikel. Dampak kerusakan lingkungan telah tampak, perairan mulai tercemar," kata warga Raja Ampat, Ronisel Mambrasar, diwartakan TribunSorong.com (5/6/2025).
Menurut Ronisel, sebagian wilayah Raja Ampat yang dulunya hijau kini gundul karena tambang nikel. Aktivitas bongkar muat material tambang juga mengubah warna air laut dari biru menjadi cokelat.
"Contoh di Pulau Gag dan Kawe, harusnya ikut dilindungi sebab menjadi rumah bagi spesies ikan, kini rusak oleh sisa material tambang," kata Ronisel.
(Baca: Ada Tambang Nikel di Raja Ampat, Berapa Banyak Cadangan Nikelnya?)
Kendati begitu, produksi nikel di Raja Ampat tergolong kecil dibanding daerah lain.
Hal ini terlihat dari data yang dihimpun Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS).
Menurut studi mereka, Provinsi Papua Barat dan sekitarnya—mencakup Provinsi Papua Barat Daya dan Kabupaten Raja Ampat—hanya memiliki kapasitas produksi komoditas nikel sekitar 5 ribu ton per tahun.
Angka tersebut merupakan gabungan produksi komoditas berupa feronikel, nickel pig iron, nikel sulfat, nikel matte, dan olahan nikel lainnya.
Sedangkan di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara kapasitas produksinya mencapai kisaran 6 juta—7 juta ton per tahun.
Berikut rincian kapasitas produksi komoditas nikel di provinsi Indonesia menurut studi CREA dan CELIOS, diurutkan dari yang terbesar:
- Sulawesi Tengah 7,01 juta ton per tahun
- Maluku Utara: 6,67 juta ton per tahun
- Sulawesi Tenggara: 6,40 juta ton per tahun
- Sulawesi Selatan: 678 ribu ton per tahun
- Banten 373 ribu ton per tahun
- Kalimantan Selatan: 63 ribu ton per tahun
- Jawa Timur: 34 ribu ton per tahun
- Papua Barat: 5 ribu ton per tahun
(Baca: Ini Luas Wilayah Penambangan 5 Perusahaan Tambang di Raja Ampat)
Menurut CREA dan CELIOS, di mana pun lokasinya, produksi komoditas nikel dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan.
"Analisis menunjukkan bahwa pengoperasian penuh kapasitas produksi nominal akan mengakibatkan 5.000 kematian dan beban ekonomi sebesar US$3,42 miliar per tahun akibat dampak kesehatan terkait polusi udara," kata mereka dalam laporan Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel (Februari 2024).
Merespons kondisi ini, CREA dan CELIOS pun mendorong pemerintah untuk mengendalikan industri nikel, salah satunya dengan menetapkan persyaratan ESG (environmental, social, governance) yang ketat di sektor keuangan.
"Bank harus menghindari pemberian pembiayaan kepada perusahaan yang gagal memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, dan mengintegrasikan pengungkapan ESG untuk menunjukkan integritas operasional," kata mereka.
(Baca: PLTU, Sumber Energi Utama Hilirisasi Nikel Indonesia)