Dalam beberapa tahun belakangan pemerintah Indonesia terus mendorong hilirisasi atau pengolahan sumber daya alam mentah, salah satunya nikel.
Adapun hilirisasi nikel bertujuan untuk membangun industri baterai kendaraan listrik di dalam negeri.
(Baca: Indonesia Siap Produksi Baterai EV, Ini Negara Pesaingnya)
Menurut data Kemenko Marves, sampai April 2024 sudah ada 54 smelter atau fasilitas pengolahan nikel yang beroperasi di Indonesia.
Kemudian ada 38 smelter nikel yang masih dalam tahap konstruksi, dan 55 smelter dalam tahap perencanaan.
Kemenko Marves mencatat, seluruh tahap operasi, konstruksi, dan perencanaan smelter nikel di Indonesia membutuhkan total energi listrik 17.565 megawatt (MW).
Dari total kebutuhan tersebut, sekitar 4.004 MW (22,8%) akan dipasok dari pembangkit energi Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kemudian sekitar 13.562 MW (77,2%) akan dipasok dari pembangkit energi privat yang dibangun pihak swasta secara swadaya (captive power plant).
Jika dirinci lagi, pembangkit energi swasta itu sebagian besar akan berupa PLTU, yang umumnya menggunakan bahan bakar fosil terutama batu bara.
Berikut rincian rencana pasokan energi untuk smelter nikel dari pembangkit energi swasta (captive power plant), berdasarkan data Kemenko Marves pada April 2024:
- Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU): 11.908 MW (67,8% dari total kebutuhan energi smelter nikel)
- Pembangkit listrik tenaga air (PLTA): 1.254 MW (7,1%)
- Pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD): 219 MW (1,2%)
- Pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU): 133 MW (0,8%)
- Pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa): 48 MW (0,3%)
(Baca: Indonesia Mau Tambah Pembangkit Listrik, Mayoritas PLTU)