Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor 1 bulan sempat mencapai 70%/tahun saat terjadi krisis moneter (krismon) pada 1998. Harga-harga barang yang melonjak serta terjadinya kerusuhan hampir di seluruh wilayah Indonesia memicu inflasi lebih dari 70% membuat suku bunga melambung tinggi. Ekonomi domestik mengalami kontraksi (tumbuh negatif) lebih dari 13% membuat nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi hingga di atas Rp 15.000/dolar Amerika Serikat (AS).
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan kondisi saat ini meskipun rupiah saat ini hampir mencapai Rp 15 ribu/dolar AS. Laju inflasi saat ini sangat terkendali di level 3,2%, suku bunga acuan meskipun mengalami kenaikan masih di 5,5% dan ekonomi domestik masih tumbuh sekitar 5%. Selain itu, cadangan devisa Bank Indonesia sebesar US$ 117,93 miliar, atau sekitar lima kali lipat lebih besar dibanding saat krisis yang hanya sekitar US$ 18 miliar.
Meskipun beberapa harga pangan mengalami kenaikan, namun secara umum masih sangat terkendali. Melemahnya nilai tukar hingga ke Rp 14.900/dolar Amerika karena dampak dari faktor eksternal seiring naiknya suku bunga bank sentral AS (The Fed). Pelemahan rupiah juga dari level Rp 13.000/dolar AS atau hanya 8% sepanjang tahun ini, bukan dari Rp 2.500/dolar AS ketika belum terjadi krisis. Secara fundamental, ekonomi Indonesia saat ini masih cukup solid dan lebih baik dibanding kondisi negara pasar berkembang yang saat ini dilanda krisis seperti Argentina, Turki maupun Venezuela.