Menurut survei Reuters Institute, mayoritas warga global menganggap politikus dan influencer sebagai sumber utama misinformasi, disinformasi, atau hoaks.
Misinformasi adalah informasi tidak akurat, tidak lengkap, setengah-setengah, atau salah, yang disebarkan tanpa niat tertentu atau secara tidak sengaja.
Kemudian disinformasi adalah informasi salah yang disebarkan dengan sengaja untuk menyesatkan atau membingungkan orang lain. Hal ini mirip dengan hoaks, yang artinya adalah informasi bohong atau palsu.
(Baca: Survei APJII: Konten Politik Paling Rawan Hoaks)
Sebanyak 47% responden global menilai politikus atau partai politik merupakan sumber ancaman utama misinformasi, disinformasi, atau hoaks pada awal 2025.
Angka tersebut sama dengan yang diperoleh influencer atau pemengaruh di media sosial.
"Di banyak negara, politikus dianggap sebagai ancaman terbesar, terutama di Amerika Serikat, di mana Donald Trump sering memberi informasi menyesatkan atau pernyataan palsu, seperti 'Ukraina memulai perang dengan Rusia'," kata Reuters Institute dalam Digital News Report 2025.
"Kemudian di banyak negara Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia, terdapat kekhawatiran yang sama terhadap influencer. Investigasi kantor berita AFP di Nigeria dan Kenya menemukan ada influencer dibayar oleh partai politik untuk mempromosikan narasi palsu di media sosial," lanjutnya.
Pihak lain yang dianggap rawan menjadi sumber misinformasi, disinformasi, atau hoaks adalah pemerintah negara asing (39%), aktivis (37%), media massa atau jurnalis (32%), selebritas (29%), dan masyarakat umum (23%).
Reuters Institute memperoleh data ini dari hasil survei yang digelar pada Januari-Februari 2025.
Respondennya berjumlah sekitar 97 ribu orang yang tersebar di 48 negara, dengan latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, dan domisili yang beragam.
(Baca: Warga Indonesia yang Mengakses Berita Berkurang pada 2021-2025)