Menurut laporan riset TIFA Foundation dan Populix, sebanyak 63% dari total responden jurnalis di Indonesia mengaku pernah mengalami masalah penyensoran berita. Penyensoran ini terjadi semua media, baik nasional maupun internasional.
Redaksi menjadi pihak yang disebut paling banyak memerintahkan penyensoran, ini dinyatakan oleh 41% responden.
Berikutnya, ada penyensoran berita yang diperintahkan oleh sponsor atau klien, ini dialami oleh 38% responden.
Lalu terdapat penyensoran berita oleh pemilik media yang dinyatakan 30% responden. Diikuti oleh penyensoran oleh organisasi masyarakat 25%, pemerintah 21%, serta manajemen media seperti HR dan CEO 21%.
Selain itu, penyensoran berita juga turut dilayangkan oleh lembaga negara non-pemerintah seperti aparat penegakan hukum, yakni sebanyak 13%. Kemudian pihak lainnya yang memerintahkan penyensoran 1%.
Survei Populix ini melibatkan 536 responden jurnalis aktif, rinciannya responden laki-laki sebanyak 67% dan responden perempuan 33%. Berdasarkan status pekerjaan, mayoritas merupakan jurnalis penuh waktu (45%), jurnalis kontrak (36%), dan jurnalis kontributor (19%).
Responden tersebar di Pulau Jawa (44%), Sumatera (19%), Kalimantan (9%), Sulawesi (9%), Maluku-Maluku Utara (9%), Bali-Nusa Tenggara (6%), dan Papua (5%).
Pengumpulan data dilakukan pada 22 Januari-13 Februari 2024 melalui metode self filling oleh para jurnalis.
Penelitian ini turut menggunakan dua metode, yakni kuantitatif dan kualitatif. Selain menyurvei, tim riset juga mengambil data sekunder berupa data kekerasan terhadap jurnlais yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Sementara, data kuantitatifnya berasal dari focus group discussion (FGD) dan in-depth interview dengan sejumlah stakeholder di bidang jurnalistik.
(Baca: 45% Jurnalis RI Alami Kekerasan pada 2023, Intimidasi hingga Ancaman Pembunuhan)