Selama 6 bulan perang dengan Ukraina, Rusia mampu mengantongi pendapatan €158 miliar atau sekitar Rp2,3 kuadriliun (kurs Rp15.601 per euro) dari ekspor komoditas energi fosil mencakup minyak bumi, gas bumi, dan batu bara.
Hal ini diungkapkan lembaga riset asal Finlandia, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dalam laporan Financing Putin's War yang dirilis awal Oktober 2022.
"Dengan adanya lonjakan harga bahan bakar fosil, pendapatan Rusia saat ini jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya, meskipun tahun ini ada pengurangan volume ekspor," kata CREA dalam laporannya.
Menurut CREA, ekspor bahan bakar fosil adalah sumber dana utama yang digunakan Rusia untuk membangun kekuatan militer dan melancarkan agresi ke Ukraina.
"Pajak dan tarif ekspor migas mencapai lebih dari 40% anggaran federal Rusia setiap tahun. Pendapatan ini secara historis berkorelasi dengan pengeluaran militer Rusia," ungkapnya.
CREA juga menemukan selama periode 6 bulan perang Rusia-Ukraina, yakni 24 Februari-24 Agustus 2022, komoditas energi fosil Rusia paling banyak dibeli oleh Uni Eropa.
"Dari sanksi pelarangan Uni Eropa terhadap minyak Rusia, hanya sebagian kecil yang sudah terealisasi," kata CREA.
Negara-negara pembeli terbesar berikutnya adalah Tiongkok, Turki, India, Jepang, Mesir, dan Korea Selatan dengan nilai pembelian seperti terlihat pada grafik.
Merespons situasi ini, CREA pun mendorong negara-negara pembeli energi Rusia untuk segera melakukan transisi ke energi bersih.
"Transisi energi akan jauh lebih berdampak daripada sekadar mengatur arus perdagangan bahan bakar fosil, dan akan memiliki dampak lebih besar bagi ekonomi, kesehatan, dan jaminan keamanan nasional," pungkas CREA.
(Baca: Harga Minyak Dunia Turun, Minyak Rusia Makin Murah Lagi)