Industri manufaktur Indonesia lesu pada April 2025. Hal ini dipengaruhi turunnya permintaan, yang kemudian memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kondisi ini terlihat dari laporan Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis S&P Global Market Intelligence.
(Baca: Logam dan Makanan, Komoditas Utama Ekspor Manufaktur RI 2024)
S&P Global Market Intelligence menyusun indeks PMI dari hasil survei terhadap kalangan manajer dari ratusan sampel perusahaan.
Indikator surveinya meliputi pertumbuhan volume produksi, pesanan ekspor dan domestik, jumlah tenaga kerja, jangka waktu pengiriman pasokan, serta stok bahan yang dibeli setiap perusahaan.
Hasilnya kemudian diolah menjadi skor berskala 0-100. Skor PMI di bawah 50 mencerminkan adanya pelemahan atau kontraksi; skor 50 artinya stabil atau tak ada perubahan; dan skor di atas 50 menunjukkan penguatan atau ekspansi dibanding bulan sebelumnya.
Pada April 2025 Indonesia memiliki skor PMI manufaktur 46,7, masuk zona kontraksi dan mencapai level terendah dalam tiga tahun terakhir.
"Permintaan dilaporkan melemah, baik dari pasar domestik maupun luar negeri. Produsen mengurangi jumlah tenaga kerja pada bulan April karena kebutuhan produksi dan permintaan menurun," kata S&P Global dalam siaran pers, Jumat (2/5/2025).
"Menanggapi keadaan tersebut, perusahaan menerapkan PHK, mengurangi belanja, serta mengurangi jumlah stok input dan barang jadi," lanjutnya.
S&P Global juga menilai belum ada tanda perbaikan dalam waktu dekat.
"Perkiraan jangka pendek masih suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan kewajiban yang tertunda akibat tidak ada penjualan. Tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang," kata mereka.
(Baca: Terancam Tarif Trump, Ini Produk yang Diimpor AS dari Indonesia)