Daya tarik Indonesia untuk investasi energi terbarukan masih rendah. Tantangan utamanya adalah potensi pasar dan pengalaman Indonesia di bidang ini yang dinilai masih minim.
Hal ini terlihat dari laporan Climatescope 2024 yang dirilis perusahaan riset transisi energi asal Amerika Serikat, Bloomberg New Energy Finance (BloombergNEF).
(Baca: Daya Tarik RI untuk Investasi Energi Terbarukan Masih Rendah di ASEAN)
BloombergNEF mengukur daya tarik negara-negara berkembang untuk investasi energi terbarukan melalui indikator kebijakan pemerintah (fundamentals), potensi pasar (opportunities), dan pengalaman (experience).
Indikator kebijakan pemerintah (fundamentals) mencakup target pembangunan energi terbarukan, regulasi tarif energi, insentif perpajakan, hingga kebijakan mitigasi perubahan iklim nasional.
Kemudian indikator potensi pasar (opportunities) meliputi persaingan harga energi di dalam negeri, harga listrik, rasio elektrifikasi, kondisi ekonomi makro, hingga komitmen perusahaan lokal terkait pengurangan emisi.
Terakhir, indikator pengalaman (experience) mencakup kinerja industri energi terbarukan, seperti pertumbuhan investasi, instalasi pembangkit, dan produksi energi bersih nasional.
Hasil penilaiannya kemudian diolah menjadi skor berskala 0-5 poin. Makin tinggi skornya, daya tarik dan kesiapan suatu negara untuk menerima investasi energi terbarukan diasumsikan semakin baik.
(Baca: Investasi Migas dan Minerba RI Naik pada 2024, EBT Masih Minim)
Pada 2024 secara umum skor Indonesia hanya 2,01 dari 5 poin, masuk peringkat ke-6 di Asia Tenggara.
Jika dipecah per indikator, Indonesia memperoleh skor cukup kuat dalam aspek kebijakan pemerintah, tapi lemah dalam hal potensi pasar dan pengalaman.
Dalam aspek kebijakan pemerintah (fundamentals) skor Indonesia mencapai 3,17 dari 5 poin. Meski cukup kuat, aspek ini dinilai belum optimal karena Indonesia tercatat belum memiliki regulasi yang mewajibkan penggunaan energi terbarukan (renewables mandate).
Di sisi lain, dalam aspek potensi pasar (opportunities) Indonesia hanya meraih skor 0,97 dari 5 poin. Skor rendah ini salah satunya dipengaruhi harga listrik nasional yang tercatat menurun selama periode 2017-2023.
Dalam aspek pengalaman (experience) skor Indonesia bahkan lebih rendah lagi, hanya 0,71 dari 5 poin. Hal ini salah satunya terkait dengan riwayat instalasi pembangkit, produksi, dan investasi energi terbarukan di Indonesia yang masih minim.
(Baca: Indonesia Mau Tambah Pembangkit Listrik, Mayoritas PLTU)