Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang 2022 ada sekitar 90,7 ribu laporan transaksi mencurigakan di Indonesia.
Jumlah laporan itu meningkat 14% dibanding tahun sebelumnya, sekaligus menjadi rekor terbanyak dalam sedekade terakhir.
Mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), transaksi mencurigakan adalah:
- Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi seseorang;
- Transaksi yang diduga bertujuan menghindari pelaporan ke pihak berwenang;
- Transaksi dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
- Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Transaksi mencurigakan yang memenuhi kriteria di atas harus dilaporkan oleh lembaga penyedia jasa keuangan kepada PPATK.
Lembaga yang punya kewajiban melapor itu meliputi bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan/pialang asuransi, lembaga pengelola dana pensiun, perusahaan efek, manajer investasi, pedagang valuta asing, koperasi, pergadaian, pengelola e-money, dan sebagainya.
Lembaga penyedia barang/jasa yang menemukan transaksi mencurigakan juga wajib melapor ke PPATK, seperti perusahaan/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang perhiasan, pedagang barang seni/barang antik, dan balai lelang.
Adapun pada 2022, mayoritas laporan transaksi mencurigakan yang diterima PPATK terkait dengan dugaan penipuan.
Banyak pula laporan transaksi mencurigakan yang diduga terkait perjudian, pidana perpajakan, penggelapan dana, korupsi, pidana perbankan, dan lain-lainnya seperti terlihat pada grafik.
Pada 2022 dugaan transaksi mencurigakan paling banyak dilaporkan oleh bank, dan 91%-nya berasal dari DKI Jakarta.
(Baca: Transaksi Mencurigakan Meningkat pada 2022, Tembus Rekor Baru)