Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) mewacanakan Gubernur Jakarta tak lagi dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada), melainkan ditunjuk langsung oleh presiden.
Pasal 10 Ayat 2 RUU DKJ berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPR.”
Lantas, bagaimana pendapat warga terkait wacana penunjukkan Gubernur Jakarta oleh presiden?
Berdasarkan survei Litbang Kompas, mayoritas atau 66,1% responden menyatakan tidak setuju dengan wacana tersebut. Ini terdiri dari 14% responden yang sangat tidak setuju dan 52,1% tidak setuju.
Sebaliknya, ada 31,3% responden yang mengaku setuju jika Gubernur Jakarta dipilih melalui penunjukkan langsung oleh pemerintah pusat. Rinciannya, 3,5% responden setuju dan 27,8% setuju.
Survei ini juga turut menanyakan alasan responden yang tidak setuju dengan penunjukkan Gubernur Jakarta langsung oleh presiden.
Dari yang menolak, sebanyak 40,8% menilai bahwa tidak adanya pilkada di Jakarta menandakan adanya kemunduran demokrasi.
Ada pula responden yang menilai, wacana penunjukkan Gubernur Jakarta oleh presiden akan rawan konflik kepentingan. Selain itu, responden menilai masyarakat semakin tidak didengarkan, dengan masing-masing suara 24,5% responden.
Survei Litbang Kompas ini melibatkan 512 responden yang dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi Indonesia.
Koleksi data dilakukan pada 26-28 Februari 2024 melalui wawancara telepon. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 4,33% dan tingkat kepercayaan 95%, dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
(Baca: Litbang Kompas: Banyak Orang Setuju Hak Angket terkait Pilpres 2024)