Dua bank besar asal Swiss, yaitu Credit Suisse dan UBS, menyatakan kesepakatan merger pada Minggu (19/3/2023).
UBS akan membeli seluruh saham Credit Suisse dengan harga CHF 3 miliar atau sekitar Rp49,6 triliun (kurs Rp16.535 per CHF).
"Jika memungkinkan, proses merger diharapkan akan selesai pada akhir 2023," kata manajemen Credit Suisse dalam siaran persnya, Minggu (19/3/2023).
Kesepakatan merger ini diumumkan di tengah anjloknya harga saham Credit Suisse. Berdasarkan data Google Finance, sejak awal tahun sampai 20 Maret 2023 harga saham Credit Suisse sudah merosot sekitar 73% (year-to-date/ytd).
Merger itu juga dilakukan setelah keuangan Credit Suisse ambruk dalam beberapa tahun belakangan.
Menurut laporan tahunannya, Credit Suisse sudah merugi sejak 2021. Bahkan pada akhir 2022 kerugian mereka membengkak hingga mencapai CHF 7,3 miliar atau sekitar Rp120 triliun.
Dengan saham yang anjlok dan kerugian jumbo, Credit Suisse berisiko bangkrut dalam waktu dekat. Namun, sejumlah pihak berupaya melakukan "penyelamatan", karena kebangkrutan Credit Suisse dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak rembetan bagi perekonomian Swiss dan negara-negara lain.
Pasalnya, menurut FINMA, Badan Otoritas Pasar Keuangan Swiss, Credit Suisse termasuk salah satu bank yang memiliki pengaruh sistemik terhadap keuangan domestik dan global.
"Bank Nasional Swiss telah menetapkan Credit Suisse, UBS, Raiffeisen Group, Zürcher Kantonalbank, dan PostFinance sebagai bank yang penting secara sistemik," kata FINMA di situs resminya.
"Pengaruh sistemik bank bergantung pada ukuran asetnya, keterkaitannya dengan sistem keuangan dan perekonomian, serta kapasitas layanannya, terutama dalam pengelolaan simpanan masyarakat, serta bisnis pembiayaan dan pembayaran," papar FINMA.
Adapun menurut Andreas Venditti, Kepala Riset Bank Vontobel asal Swiss, aksi "penyelamatan" Credit Suisse oleh UBS belum menjamin bahwa kondisi keuangan global akan baik-baik saja.
"Ada banyak ketidakpastian dan risiko yang signifikan. Kebijakan investasi UBS berubah secara substansial. Masalah yang terjadi pada sektor perbankan global belum berakhir," kata Andreas Venditti, dilansir Yahoo Finance, Senin (20/3/2023).
(Baca: Silicon Valley Bank Kolaps, Masuk 10 Kasus Kebangkrutan Terbesar di AS)