Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuannya serta kekhawatiran terhadap dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok memicu pelemahan mata uang negara-negara pasar berkembang seperti Indonesia. Ditambah lagi muncul kecemasan bahwa krisis di Agentina dan Turki akan menular ke negara berkembang lainnya.
Seperti terlihat pada grafik di bawah ini, mata uang di negara pasar berkembang mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, kondisi rupiah masih lebih baik dibanding dengan mata uang negara lainnya. Peso Argentina sepanjang tahun ini (29 Des 2017-5 Sep 2018) telah terdepresiasi lebih dari 52% terhadap dolar AS demikian pula Lira Turki melemah lebih dari 43%. Sementara rupiah sepanjang tahun ini hanya melemah 9,17% terhadap dolar Amerika.
Pada perdagangan Rabu (5/9) nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 14.938/dolar AS melemah tipis 0,02% dibanding penutupan sehari sebelumnya. Adanya ketidakpastian global serta terjadinya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan menekan pergerakan rupiah. Namun, secara fundamental rupiah masih cukup solid di mana ekonomi masih tumbuh di atas 5%, inflasi terjaga di 3%. Tidak hanya itu, suku bunga rupiah masih cukup menarik di 5,5% serta cadangan devisa sebesar US$ 118 miliar yang cukup untuk membiayai lebih dari 6 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah.