Perusahaan kosmetik raksasa, Revlon, terancam bangkrut lantaran tengah bergulat dengan beban utang dan rantai pasokan yang tersendat. Perusahaan yang berbasis di New York itu memiliki utang jangka panjang sebesar US$3,31 miliar per 31 Maret 2022, menurut pengajuan sekuritas.
Selain itu, lambatnya adaptasi dengan perubahan selera kecantikan serta kalah saing dengan sejumlah kompetitor menjadi beberapa penyebab perusahaan tersebut bangkrut.
Lantas, bagaimana tren penjualan Revlon dalam satu dekade terakhir?
Berdasarkan laporan keuangan Revlon, penjualan bersih perusahaan secara global cenderung fluktatif sejak 2011 hingga 2021. Pada 2011, penjualan bersih Revlon sebesar US$1,38 miliar alias yang terendah selama sepuluh tahun terakhir.
Penjualan bersih Revlon naik menjadi US$ 1,39 miliar pada 2012. Kemudian, penjualan bersih perusahan yang berasal dari Amerika Serikat ini naik lagi menjadi 1,49 miliar pada 2013 dan 1,94 miliar pada 2014.
Jumlah penjualan bersih tertinggi Revlon dalam satu dekade sebesar US$ 2,69 miliar pada 2017. Ini merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.
Namun, jumlah penjualan bersih perusahan kosmetik ini kembali menurun pada 2018 menjadi US$ 2,56 miliar. Jumlah penjualan bersih Revlon kembali menyusut pada 2019 menjadi US$ 2,41 miliar dan pada 2020 menjadi US$ 1,9 miliar.
Sementara itu, penjualan bersih Revlon tercatat naik 9,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi US$ 2,07 miliar pada 2021. Dari segi lini bisnis, penjualan bersih kosmetik Revlon merupakan yang terbesar yakni mencapai US$ 727,9 juta sepanjang tahun lalu.
Diikuti oleh anak usahanya Elizabeth Arden dengan penjualan bersih sebesar US$523,3 juta. Lalu, ada pula penjualan bersih Portfolio sebesar US$419,1 juta dan Fragrance US$399,4 juta.
(Baca: 10 Perusahaan Kosmetik Berpendapatan Terbesar di Dunia)