Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) serentak ke depannya akan digelar dalam dua tahapan.
Pertama, pemilu serentak tingkat nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.
Kemudian ada jeda 2 sampai 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu serentak tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD, gubernur, serta bupati dan wali kota.
Menurut survei Litbang Kompas, sebanyak 70,3% responden setuju jika pemilu dilakukan secara terpisah.
Sejalan dengan itu, 41,7% responden berpendapat pemisahan pemilu membuat masyarakat tidak bingung, karena tidak harus memilih banyak calon sekaligus.
"Salah satu keuntungan ketika terjadi pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah peluang bagi pemilih tidak lagi dihadapkan pada beban teknis ketika harus menentukan pilihan, terutama di pemilu legislatif," kata Litbang Kompas dalam laporannya, Senin (4/8/2025).
Ada pula responden yang menilai pemisahan pemilu membuat pengawasan menjadi lebih mudah (16,5%), serta lebih fokus dan tertib (16,5%).
Sementara hanya 0,9% responden yang menilai tidak ada keuntungan dari pemisahan ini.
"Dukungan publik pada putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal adalah cerminan harapan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pemilu, yang pada akhirnya juga mendongkrak kualitas demokrasi," kata Litbang Kompas.
Survei ini melibatkan 512 responden dari 64 kota di 38 provinsi yang dipilih secara acak, sesuai proporsi penduduk di setiap provinsi.
Pengambilan data dilakukan pada 14-17 Juli 2025 melalui wawancara telepon. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 4,25% dan tingkat kepercayaan 95%, dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
(Baca: Seberapa Sering KPU dan Bawaslu Tidak Patuh terhadap UU?)