Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), Indonesia dan Australia adalah raksasa eksportir batu bara di skala global.
Pada 2020 volume ekspor batu bara Indonesia mencapai 405 juta ton, paling besar nomor satu di dunia. Pada periode sama Australia mengekspor 390 juta ton dan menjadi nomor dua terbesar.
(Baca: Stok Batu Bara RI Habis 62 Tahun Lagi, Umur Migas Lebih Pendek)
Selama 2020 harga batu bara Indonesia dan Australia bersaing ketat. Kemudian pada 2021 harga batu bara dari Negeri Kanguru mulai unggul, meskipun Indonesia sempat menyalip pada November.
Namun, sepanjang 2022 batu bara Australia konsisten lebih mahal dibanding punya Indonesia, seperti terlihat pada grafik di atas.
Menurut IEA dalam laporan Coal 2020 Prices and Costs, perbedaan harga ini terjadi karena kualitas batu bara yang ditawarkan berbeda.
"Sekitar 85% batu bara termal global yang diekspor dari Australia memiliki kalori tinggi (di atas 5.700 Kkal/kg). Jepang, Korea, dan Taiwan menjadi importir utamanya," kata IEA.
"Sementara 37% batu bara yang diekspor Indonesia memiliki kalori rendah (di bawah 4.500 Kkal/kg) dan hanya 8% yang kalorinya tinggi. Importir terbesarnya adalah Tiongkok dan India," lanjutnya.
IEA menjelaskan, batu bara kalori rendah harganya lebih murah karena kandungan energinya lebih sedikit. Batu bara kalori rendah juga umumnya membutuhkan biaya logistik tinggi karena mengandung kadar abu dan air lebih banyak.
(Baca: Pasokan Batu Bara Australia Terganggu, HBA Terkerek Naik Awal 2023)