Kinerja ekspor tekstil Indonesia melemah pada paruh pertama tahun ini. Bahkan menurut kalangan pengusaha, kondisinya lebih buruk dibanding masa pandemi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I 2023 volume ekspor tekstil dan barang tekstil nasional sekitar 922,5 ribu ton, berkurang 13% dibanding semester I 2022.
Kemudian nilai ekspor tekstil dan barang tekstil pada semester I 2023 sekitar US$5,7 miliar, turun 22% dibanding semester I tahun lalu.
Angka tersebut merupakan catatan ekspor tekstil dan barang tekstil dalam golongan barang XI dengan kode HS 50-63, terdiri dari gabungan komoditas sutra, wol, kapas, serat tekstil, filamen, serat stapel, kain tenun, kain rajutan, karpet, pakaian rajutan/non-rajutan, aksesoris pakaian, dan berbagai produk tekstil jadi lainnya, termasuk pakaian bekas.
(Baca: 10 Negara Pemasok Pakaian Bekas Impor Terbesar ke Indonesia)
Adapun menurut Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), kondisi industri tekstil dalam negeri saat ini lebih parah ketimbang masa pandemi.
"Kalau pas pandemi Covid-19, itu market-nya tetap ada, ekspor juga masih tetap jalan. Kalau sekarang, ekspornya lagi susah, (pasar) lokalnya juga lagi diserbu produk-produk impor. Jadi turun jauh," kata Ketua Umum Apsyfi Redma Gita dalam wawancara dengan KBR.id, Senin (25/9/2023).
"Ini (penurunan kinerja industri tekstil) sudah terjadi sejak kuartal tiga (2022). Yang kita sayangkan, sampai saat ini pemerintah enggak ngapa-ngapain untuk memperbaiki kondisi industrinya, maka makin lama tiap bulan ada pemutusan hubungan kerja (PHK), kurangi produksi, setiap bulan ada saja pabrik yang tutup. Ini lebih parah ketimbang Covid-19 kemarin," kata Redma.
(Baca: 26 Ribu Karyawan Kena PHK pada Semester I 2023)