Persepsi risiko berinvestasi di pasar finansial Indonesia sepanjang 2018 mengalami peningkatan. Ini tercermin dari risiko gagal bayar (Credit Default Swap/CDS) obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun naik lebih dari 7.000 basis poin (bps) ke level 225,93 pada 7 September 2018 dari posisi akhir tahun lalu di 153,94. Demikian pula imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun naik 224 bps menjadi 8,55% dari sebelumnya 6,32%, berdasarkan data Bloomberg.
Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya, ancaman dampak perang dagang, serta krisis yang terjadi di Argentina dan Turki mendorong terapresiasinya dolar AS terhadap mata uang utama dunia, termasuk dengan rupiah. Adanya ketidakpastian ini membuat para investor lebih memilih berinvestasi dalam mata uang dolar AS dan melepas aset yang dianggap berisiko di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini yang membuat nilai tukar rupiah melemah hingga mendekati Rp 15 ribu/dolar AS.
Meskipun persepsi investasi sepanjang tahun ini meningkat, fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih lebih baik dibanding kondisi saat krisis 1998. Ini dapat terlihat dari CDS Indonesia saat ini masih jauh di bawah posisi saat terjadi krisis finasial Amerika pada 2008 yang sempat berada di atas level 1.000. Sebagai informasi, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5%, inflasi terjaga di 3%, serta cadangan devisa cukup untuk membiayai lebih dari 6 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah.