Pada perdagangan, Rabu (3/10) nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 15.075/dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 10,53% dari posisi akhir tahun lalu. Pelemahan ini merupakan yang terburuk dalam lima tahun terakhir. Harga minyak mentah dunia jenis Brent yang sempat menembus US$ 86/barel kembali memicu pelemahan rupiah hingga ke Rp 15.188/dolar AS, pada transaksi Kamis (4/10) hingga pukul 12:30 WIB.
Meskipun terpuruk ke level terendahnya dalam 20 tahun terakhir, tapi pelemahan rupiah saat ini tidak sedalam yang terjadi pada 2010 maupun ketika Indonesia dilanda krisis moneter 1997-1998. Dampak krisis finansial di Amerika membuat rupiah sempat melemah hingga 26%. Bahkan pada saat terjadi krisis finansial Asia, rupiah terdepresiasi lebih dari 56% terhadap dolar AS, yakni sebesar 56% pada 1997 dan 32% pada 1998.
Fundamental ekonomi Indonesia saat ini berbeda dengan saat krisis 1997-1998. Ekonomi domestik hingga semester I 2018 masih tumbuh sekitar 5%, laju inflasi terkendali di level 3%, serta memilik cadangan devisa US$ 118 miliar. Sementara saat krisis, ekonomi mengalami kontraksi lebih dari 13%, laju inflasi mencapai 70% dan cadangan devisa hanya sekitar US$ 18 miliar. Guna mengurangi defisit perdagangan yang dapat memperlemah rupiah, pemerintah mengurangi impor dengan menaikkan bea masuk beberapa kategori barang dan akan menggenjot devisa dari sektor pariwisata.