Dalam sepuluh tahun terakhir, harga nikel terus berfluktuasi seiring dinamika pasar global.
Berdasarkan data Bank Dunia, sedekade belakangan ini harga nikel sempat jatuh ke level terendah pada 2016, tapi sempat pula menguat ke rekor puncak pada 2022 seperti terlihat pada grafik.
Menurut United States Geological Survey (USGS), ada beragam faktor yang mempengaruhi naik-turun harga nikel.
Dalam laporan Mineral Commodity Summaries 2017, USGS menyatakan harga nikel global pada 2016 anjlok karena ada kelebihan pasokan (oversupply) di pasaran.
USGS mencatat pada 2016 produksi nikel dari negara-negara produsen utama meningkat, sedangkan permintaan nikel menurun.
Setelah itu harga nikel global mulai menguat lagi seiring penurunan produksi di sejumlah negara selama 2017-2019, disusul pelarangan ekspor nikel mentah dari Indonesia pada 2020.
Kemudian pada 2021 harga nikel kian menguat. Mengutip laporan Mineral Commodity Summaries 2022, kenaikan harga pada 2021 dipengaruhi ekspektasi naiknya penggunaan nikel untuk baterai kendaraan listrik, serta bertambahnya permintaan stainless steel.
Menurut USGS, hal-hal itu pula yang mendorong kenaikan harga nikel pada 2022 hingga mampu mencapai rekor tertinggi.
Namun, pada 2023 harga nikel tercatat menurun. Dalam Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2023, Bank Dunia menilai hal ini dipengaruhi naiknya pasokan nikel, terutama dari Indonesia.
Di tengah kenaikan pasokan, Bank Dunia mencatat permintaan baterai nikel pada 2023 menurun, seiring dengan adanya pergeseran preferensi perusahaan kendaraan listrik untuk menggunakan baterai berbasis lithium iron posphate (LFP).
(Baca: Proyeksi Bank Dunia, Harga Nikel Turun Lagi pada 2024)