Bank Dunia memproyeksikan harga nikel global akan turun lagi pada 2024, melanjutkan tren pelemahan yang terjadi sepanjang 2023.
Hal ini tercatat dalam laporan Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2023.
(Baca: Bukan Nikel, Ini Mineral yang Paling Banyak Dibutuhkan Industri Kendaraan Listrik)
Menurut data Bank Dunia, harga nikel memang sempat menguat sejak pandemi Covid-19 melanda, tepatnya sejak 2021.
Kemudian pada 2022 rata-rata harga nikel mampu mencapai US$25.833,73 per ton, rekor tertingginya dalam lima tahun terakhir.
Namun, pada 2023 rata-rata harga nikel turun 16,7% (year-on-year/yoy) menjadi US$21.521,12 per ton.
Bank Dunia pun memproyeksikan tren penurunan akan berlanjut, hingga rata-rata harganya menjadi US$20.000 per ton pada 2024.
Angka proyeksi itu lebih rendah sekitar 7,1% (yoy) dibanding realisasi harga 2023, tapi masih lebih tinggi dibanding 2020-2021 seperti terlihat pada grafik.
Adapun Bank Dunia membuat proyeksi ini karena ada peningkatan pasokan nikel dari negara-negara produsen utama, seperti China, Indonesia, dan Filipina.
Sementara—di tengah kenaikan pasokan—permintaan nikel diramal berkurang, seiring dengan munculnya teknologi baterai kendaraan listrik berbasis lithium iron posphate (LFP) sebagai pengganti nikel.
Kendati begitu, Bank Dunia berekspektasi harga nikel bisa sedikit menguat menjadi US$20.500 per ton pada 2025, jika ada peningkatan permintaan baterai mobil listrik.
(Baca: Tren Baterai LFP Menguat, tapi Baterai Nikel Masih Memimpin)