PT Bank Central Asia Tbk (BCA) merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia, dengan nilai aset mencapai Rp1,45 kuadriliun pada Desember 2024.
Jika dibandingkan dengan posisi Desember 2015, nilai asetnya sudah tumbuh 144%.
Dalam sedekade terakhir, laba emiten dengan kode BBCA ini juga tumbuh 204%, dari Rp18 triliun (2015) menjadi Rp54,8 triliun (2024).
Cuan yang diraih BCA pada 2024 menjadi rekor tertinggi baru, seperti terlihat pada grafik.
Riwayat Kepemilikan Saham BCA
BCA awalnya merupakan perusahaan milik Grup Salim yang beroperasi sejak 1957. Namun, ketika terjadi krisis finansial Asia pada 1998, BCA mengalami rush atau penarikan dana besar-besaran hingga mereka merugi.
BCA lantas menjadi bank take over (BTO), yakni bank yang pengoperasian dan pengendaliannya diambil alih negara melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Saat itu, pemerintah Indonesia menguasai 92,8% sahamnya.
Kemudian sepanjang periode 2000-2005, pemerintah melakukan divestasi secara bertahap.
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia melepas 22% kepemilikan saham BCA ke bursa dengan harga Rp1.400 per saham. Lalu pada pertengahan 2001, pemerintah melakukan secondary public offering atau penawaran publik kedua sebesar 10%.
Kemudian pada Maret 2002, pemerintah menetapkan Farindo Investment (Mauritius) Limited, konsorsium bentukan Farallon Capital, sebagai pemenang divestasi 51% saham BCA dengan nilai transaksi Rp5,3 triliun.
Pada 2004, pemerintah kembali melepas 1,4% saham BCA dengan penawaran terbatas. Sampai akhirnya pada 2005, pemerintah melakukan divestasi sisa kepemilikannya sebesar 5,02%.
Saat ini mayoritas saham BCA dikuasai oleh Grup Djarum, dengan rincian berikut:
- PT Dwimuria Investama Andalan (Grup Djarum): 67,73 miliar saham (54,94%)
- Publik: 55,54 miliar saham (45,04%)
- Treasury stock: 28,32 miliar saham (0,02%)
- Total: 123,27 miliar saham (100%)
(Baca: BREN dan BBCA Jadi Emiten dengan Nilai Pasar Terbesar di RI Juli 2025)